Untuk masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu Yadran adalah suatu ritual sebagai suatu bentuk penghormatan kepada leluhur. Dalam kitab Negara Kertagama disebutkan bahwa nyadran berasal dari kata “ srada ” yang berarti peringatan 12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi craddhayang ada pada masa kerajaan Majapahit. Kesamaannya iakah pada ritual manusia yang berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang pada dasarnya adalah suatu bentuk penghormatan kepada yang sudah meninggal. Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta “sraddha” yang memiliki arti keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno mempunyai kepercayaan bahwa leluhur yang telah meninggal, sebenarnya masih ada dan mempengaruhi kehidupan keturunannya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa benar - benar memperhatikan waktu, hari dan tanggal meninggalnya leluhur.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa pada abad ke-13, banyak tradisi Hindu-Buddha yang bercampur dengan ajaran Islam. Percampuran budaya ini semakin kental ketika Walisongo melakukan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman berlangsung sukses dan menghasilkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya ialah tradisi sraddha yang menjadinyadran. Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran, yang awalnya hanya berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Jadi nyadran merupakan sebuah upacara keagamaan yang masih terpengaruh oleh kepercayaan tradisional. Di satu sisi, nyadran merupakan proses berdoa kepada Tuhan, tapi di sisi lain masih dikaitkan dengan kepercayaan tradisional yang menganggap datangnya arwah leluhur pada waktu – waktu tertentu.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya.
Dari tata cara tersebut, nyadran terlihat sarat dengan nilai-nilai sosial budaya seperti budaya gotong royong, guyub, dan pengorbanan.
Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram.
Bahkan, juga menjadi ajang silaturahmi keluarga sekaligus transformasi sosial dan budaya. Biasanya pada saat nyadran, beberapa warga perantau mudik (dulu bahkan tak kalah ramai dari mudik Lebaran) dan setelah itu mereka mengajak saudara di desa ikut merantau, mencari pengharapan yang lebih baik. Dalam konteks itu terlihat jelas ada kearifan lokal terkait kekerabatan dan kebersamaan di antara warga atau keluarga. Selain itu, meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial) sehingga akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menjaga tradisi ini tidak terkikis atau hilang ditelan perkembangan zaman mengingat kemelunturan antusiasme generasi muda akan tradisi tersebut luntur